Yabdhi.com – Di masa remaja, saya pernah protes pada Bapak, mengapa saya diberi nama ‘Yayan Abdhi‘. Karena kata ‘Abdi’ menurut saya berarti ‘hamba’ yang jika orang memanggil saya dengan nama itu, maka seolah dia sedang memanggil ‘budak/hamba sahaya’ miliknya.
Mendengar pertanyaan saya, Bapak menjawab santai sambil tertawa dengan kata-kata “Untung kukasih nama, jika tidak mau dipanggil apa kamu?!“. Saya hanya bisa terdiam dan takut Bapak tersinggung untuk bertanya lebih lanjut.
Pernah juga mendengar Ibu berujar, jika awal mula nama saya adalah Yayan Apri, karena saya lahir pada bulan April 1982. Lalu nama itu diganti menjadi Abdhi, entah oleh Bapak atau Kakek.
Lama menjadi misteri mengapa orang tuaku memberi nama itu. Hingga saya pun melupakan rasa penasaran mengenai asal muasal nama itu.
Saya memberi tambahan pada nama saya menjadi ‘Abdillah’ atau ‘Abu Abdillah’ setelah memiliki anak, agar terasa berbeda dari makna ‘Abdi’ yang pada tutur bahasa Jawa yang berarti ‘Hamba Sahaya’.
Dalam suatu perjalanan dari Kota Prabumulih ke Kota Muara Enim untuk mengurus pasport Bapak dan Ibu, tepatnya pada Senin, tanggal 6 Juni 2022 yang memakan waktu sekitar 1,5 jam.
Saya menyetir dan Bapak yang duduk di kursi penumpang depan banyak bercerita mengenai masa mudanya yang belum pernah dia ceritakan sebelumnya pada saya.
Dari obrolan panjang itu, barulah terungkap sebuah kisah, mengapa nama ‘Abdhi’ disematkan pada saya, anak lelaki Bapak satu-satunya hingga usia saya 18 tahun, karena adik lelaki saya lahir saat saya kelas 2 SMA.
Salah satu pengalaman Bapak saat masih berprofesi sebagai sopir angkutan umum pada tahun 1970an, selain membawa mobil sebagai angkutan umum antar kota, terkadang mobilnya disewa secara khusus oleh orang-orang tertentu semisal ke Palembang, Muara Enim, dan lainnya.
Salah satu langganan yang menyewa Bapak saya adalah seorang Staf Pertamina yang bertugas dan berkantor di Pertamina Hulu Prabumulih. Setiap beberapa bulan, sang staf tersebut menyewa Bapak untuk antar-jemput ke Bandara Talang Betutu, Palembang.
Staf Pertamina itu bersikap berwibawa, ramah, baik hati dan royal dalam hal memberi hadiah dan makanan. Bahkan saat tiba waktu makan, dia tidak segan mengajak Bapak yang hanya sopir angkot untuk makan semeja dengannya. Sehingga Bapak mengagumi sosoknya yang dia nilai sebagai manusia paripurna.
Staf Pertamina itu, sepengetahuan Bapak bernama Pak ‘Abdi’ atau ‘Abdhi’. Dia lupa nama lengkapnya. Atas kekaguman itulah Bapak teringat padanya saat memberi nama pada saya.
Bapak ternyata berharap saya menjadi orang yang demikian. Berwibawa, ramah dan baik hati pada orang kecil, tidak tinggi hati dan tinggi kata-kata saat berbicara dengan siapa pun.
Serasa ingin meneteskan air mata, ternyata nama itu adalah doa dan harapan Bapak pada saya, agar kelak menjadi orang yang baik dan bersikap lembut pada orang-orang kecil.
Karena Bapak adalah orang yang tidak verbal dalam mengungkapkan kasih sayangnya, baru diusiaku yang menginjak 40 tahun, Beliau berhasil mengungkapkannya.
Anyway, terimakasih Bapak, telah memberiku nama dengan asal muasal dan harapan yang baik. Terimakasih juga Pak Abdhi (sang staf Pertamina) yang telah memberi tauladan dan bersikap penuh kebaikan pada Bapak saya selama berinteraksi. Kami tidak mengenal Anda, tapi kami doakan semoga anak cucu Anda juga menjadi orang yang baik seperti Anda.
Sesederhana itu, nama saya ternyata tidak dimaknai dari makna harfiahnya. Bapak saya lebih memaknainya dari penyandang nama itu yang pernah dia kenal.
Maafkan anakmu yang mungkin tidak bisa sebaik Pak Abdhi sang staf Pertamina itu, Bapak. Tapi semoga semua doa-doa Bapak yang mendoakan kebaikan untuk kami anak-anakmu, semuanya dikabulkan oleh Allahu subhanawata’ala.
والله أعلم
0 Komentar