Advertisement

Kunci Selamat Dunia Akhirat, Agar Tidak jadi Orang Bangkrut - Khutbah Ied Fitri 1440 H

Yabdhi.com – Khutbah pada Sholat Iedul Fitri 1440 H (5 Juni 2019) yang disampaikan Ustadz Firdaus, pembina Yayasan Islamic Center Al Istiqomah Prabumulih, memberi kesan mendalam dalam benak saya. Khutbah yang disampaikan di halaman Masjid Al Islam, Kelurahan Tanjung Raman, Prabumulih Selatan (Sumsel) itu cukup singkat, namun padat dan patut dicatat sebagai pegangan dalam menempuh hidup kita yang singkat.

Masjid Al Islam dimana khutbah ini disampaikan adalah masjid yang baru berdiri, bangunannya pun belum 100%. Namun masjid ini begitu hidup dan makmur dengan kegiatan pengajian dan sholat berjama’ah 5 waktu. Tahun 2019 ini merupakan tahun pertama pengurus masjid ini menyelenggarakan sholat hari raya, dan direncanakan tetap konsisten digelar tiap tahun.

Di 10 hari terakhir Ramadhan 1440 H, pengurus masjid ini juga menyelenggarakan kegiatan i’tiqaf yang ramai diikuti baik oleh para pemuda maupun jamaah yang lanjut usia. Terasa besar harapan akan masa depan islam yang cerah melihat hal demikian. Karena para pemuda begitu bersemangat beribadah dan menuntut ilmu tentang aqidah islam.

Pengajian Rutin Masjid Al Islam - Kel. Tg. Raman, Prabumulih, Sumsel

Pengajian Rutin Masjid Al Islam – Kel. Tg. Raman, Prabumulih, Sumsel

Kembali ke khutbah Ied Fitri seperti pada judul tulisan ini, berikut ringkasan dari taushiah berjudul “Kunci Hidup Selamat Dunia Akhirat” yang disampaikan Ustadz kharismatik tersebut:

Khutbah ini pada intinya menyampaikan satu hadits saja, namun maknanya begitu universal dan benar-benar meyakinkan kebenarannya serta jika kita amalkan dengan benar, akan mampu meningkatkan kualitas kepribadian kita sebagai muslim yang baik, cinta damai dan tulus ikhlas dalam segala perbuatan.

Hadits tersebut adalah mengenai 3 wasiat Rasulullah saw pada Mu’az bin Jabal yang juga sekaligus untuk semua kaum muslimin. Berikut narasi hadits tersebut:

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik”.

Dalam penjelasannya, khotib menjabarkan secara singkat maksud dari ketiga wasiat Rasulullah tersebut, termasuk beberapa contoh dari para Sabahat Rasulullah dalam mengamalkannya. Kurang lebih sebagai berikut:

 

1. Bertakwalah pada Allah di mana saja Berada!

Wasiat pertama ini merupakan adab pada Allah SWT. Bahwa taqwa adalah tingkatan keimanan tertinggi bagi manusia, yaitu merasakan kehadiran Allah dimana pun berada, baik di keramaian manusia maupun dalam keadaan sendirian. Intinya adalah keikhlasan dalam beribadah dan dalam setiap tindakan.

Contoh yang disampaikan khotib adalah kisah Khalifah Umar bin Khattab saat berkeliling mengawasi rakyatnya di malam hari, kemudian karena kelelahan khalifah duduk bersandar ke rumah salah satu penduduk. Secara tidak sengaja Beliau mendengar percakapan penghuni rumah tersebut, yaitu antara seorang ibu dan anak gadisnya yang menjual susu dalam kesehariannya.

Sang ibu menganjurkan agar anak gadisnya menambahkan air pada susu dagangannya, agar jumlah susu menjadi lebih banyak sehingga mendapatkan uang lebih banyak. Namun sang gadis mengingatkan bahwa hal itu dilarang oleh khalifah Umar. Ibunya lalu mengatakan bahwa Khalifah tidak ada disana, tidak mendengar dan melihat apa yang mereka lakukan. Gadis yang berhati mulia itu kemudian mengatakan, boleh jadi khalifah Umar tidak melihatnya, namun Tuhannya Khalifah Umar pasti melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan.

Menyaksikan ketaqwaan gadis itu, Khalifah Umar kemudian mengutus anaknya untuk melamar gadis mulia itu. Di masa selanjutnya, dari pernikahan anaknya Khalifah Umar dan gadis mulia itu lahir pemimpin dan ulama besar yang bernama Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah yang adil dan zuhud.

Sehingga inti dari wasiat pertama tersebut adalah nilai-nilai integritas, kejujuran dan amanah karena merasakan pengawasan Allah swt dalam setiap saat. Orang yang benar keimanannya pada Allah swt akan memiliki integritas yang tidak diragukan, jujur, amanah, serta mampu menghindar dari sifat-sifat tamak seperti korupsi, menipu, curang dalam berdagang, mencuri dan lain sebagainya.

 

2. Iringilah Keburukan dengan Kebaikan!

Wasiat kedua adalah adab pada diri sendiri, yaitu jujur pada diri sendiri dan senantiasa memeriksa perbuatan apakah sudah baik atau melakukan kesalahan. Karena manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka hendaknya seorang muslim senantiasa bermuhasabah, atau menghisab diri sendiri.

Jika melakukan kesalahan, maka iringilah dengan kebaikan agar dosa tersebut bisa dihapus oleh kesalahan tersebut. Hal ini sering dilakukan para Sahabat Nabi. Jika mereka sadar telah melakukan kesalahan, maka mereka segera melakukan kebaikan untuk menebus kesalahan tersebut.

Contohnya adalah seorang sahabat Rasul yang karena keasyikan di kebunnya, sehingga ia terlewat dari Sholat jama’ah. Menyadari kesalahannya, kemudian dia mensedeqahkan kebunnya tersebut untuk menebus kelalaiannya. Mungkin kita tidak akan sanggup melakukan hal demikian, karena level keshalihan para shabat Nabi tentu jauh di atas kita.

Hal tersebut bisa kita contoh, misalnya jika kita hitung-hitung tentu ada banyak dosa-dosa kecil yang kita lakukan atau bahkan dosa besar. Maka kita bisa berusaha menebusnya dengan bersedeqah semampunya, atau melakukan amal kebaikan pada khalayak umum atau melakukan ibadah khusus seperti sholat taubat, sholat malam atau puasa sunnah lebih banyak dari biasanya.

 

3. Bergaul dengan Akhlaq yang Baik!

Jika akhlaq pada Allah dan pada diri sendiri telah mampu dilaksanakan, hal wajib lainnya yang harus dilakukan adalah menjaga adab dan akhlaq pada orang lain, siapa pun itu. Seorang muslim yang baik bukanlah yang hanya beribadah untuk dirinya sendiri namun tidak peduli pada orang lain.

Tidak sempurna ketaqwaan seseorang jika dia tidak mampu bergaul dengan baik dan tidak mampu menjaga dirinya dari akhlaq yang buruk pada orang lain. Dosa pada diri sendiri dan pada Allah, dapat Allah ampuni dengan segera jika orang tersebut bertaubat. Namun dosa pada orang lain harus ditebus dengan meminta maaf atau hingga orang yang kita zalimi mendapat keadilan.

Jangankan kesalahan antar manusia, kezaliman antara hewan saja akan diadili di akhirat. Semisal ada seekor anjing menggigit kucing, di akhirat anjing tersebut akan mendapat balasan dari sang kucing, walau keduanya pada akhirnya dimusnahkan. Apalagi manusia, semua kesalahan, hutang, kezaliman, kecurangan dan lain sebagainya pada sesama manusia akan mendapat qisas, dan semuanya akan dibayar dengan pahala dan dosa.

Makanya ada orang yang membawa pahala sebesar gunung karena ibadahnya, namun dia menjadi bangkrut di akhirat karena dia zalim pada manusia lain. Misalnya suka menggunjing, berlaku curang dalam berdagang, memfitnah, dan tidak mampu menjaga lidahnya dari menghujat dan menjelek-jelekkan orang lain.

Semua pahalanya tidak cukup untuk membayar semua kezalimannya, sehingga jika pahalanya telah habis, dosa orang-orang yang dia zalimi diberikan padanya. Pada akhirnya dia membawa dosa ke hadapan Allah di akhirat, karena akhlaqnya yang buruk pada sesama manusia. Begitulah orang-orang yang bangkrut di akhirat.

Maka sangat penting bergaul dengan akhlaq mulia pada sesama manusia. Apabila mendapat berita tentang keburukan orang lain, lebih baik menjaga lidah dari menggunjingkannya. Jika kita difitnah, maka sebaiknya jangan membalas dengan kekejian yang sama, karena itu adalah tabungan pahala kita di akhirat. Berkata-katalah dengan baik, atau lebih baik diam.

Begitulah akhlaq seorang muslim yang sempurna ketaqwaannya. Dia akan selalu punya integritas yang baik, senantiasa menjaga diri dari perbuatan buruk dan menjaga akhlaq pada sesama manusia. Sehingga kelak dia selamat dari kebangkrutan di akhirat.

 

Takhrij hadits : Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiallahu’anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al-Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.

Posting Komentar

0 Komentar